Selasa, 11 Oktober 2016

NURIYAH

“ Nduk, reneo sebentar! Kerjaanmu iki piye to?!” Suara wanita lima puluh tiga tahun ini meneriaki anak perempuan yang sedang duduk di teras rumah, sembari meniliti jajanannya yang nyaris gosong semua di dapur.

“ Opo maneh se mak? Iso ku mung ngunu iku, gak trimo guwaken!” Sahut perempuan di teras kepada emaknya, lantas keluar rumah dan menaiki sepeda until warna merahnya.

“ oalah Nuuur Nur. Cah kok gendeng!” Sahut wanita tua itu lagi sambil membawa tutup panci dan membantingnya ke halaman depan yang baru ditinggalkan anaknya.

**

Nuriyah. Jangan anda bayangkan dia seumuran mbak-mbak lulusan SMA yang menjadi seorang pembantu rumah tangga. Dia masih sangat belia, umurnya masih belasan tahun. Tepat dua tahun lalu dia lulus SMP.Seharusnya tahun ini dia sudah bisa mengurus KTP atau setidaknya duduk di bangku kelas 2 SMA seperti anak seusianya di Desa Bandaran ini.

Setelah acara lulusan SMPnya dua tahun lalu, dia tak punya banyak waktu main bersama Nisak, satu-satunya teman yang dia punya sejak kelas 4 SD. Hanya Nisak yang mau menjadi temannya semenjak dia pindah dari Kota dan menetap di desa kecil ini. Ayahnya menikah dengan janda beranak satu.

Karena Nisak sabahatnya itu mendaftar dan diterima di sekolah ternama di Kota. Nisak sekarang sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Nisak hanya pulang pada hari Sabtu sore, setelah mengikuti ekstrakulikuler Pramuka. Bahkan tak pulang sama sekali selama seminggu karena tugas kelompok yang harus selesai pada esok harinya.

Diusianya yang sekarang, Nuriyah tak pernah sesibuk dan seaktif Nisak. Dia pengangguran yang kelayapan di desa siang dan malam.Pulangnya jam setengah sepuluh malam hanya untuk tidur dan makan jika tersisa nasi di rumah.

Dia hanya akan sibuk jika ada orang yang mau menggunakan tenaganya untuk sekedar membawakan barang dari tempat ke tempat. Kemudian mendapat upah.Upahnya tak pernah lebih dari lima belas ribu.

Bahkan ada orang yang hanya memberinya sepiring nasi lengkap dengan lauk, sambal dan kerupuknya. Padahal orang itu hampir setiap hari menggunakan jasa Nuriyah untuk membawakan dagangan ke lapak miliknya.

Nuriyah selalu sarapan lauk hangat milik penjual pecel itu setiap pagi. Nuriyah tak pernah menolak apapun upah yang akan diterimanya. Dia bersyukur hanya penjual nasi pecel dekat jalan raya depan desa yang memberinya upah sepiring nasi.

Nur tak peduli lagi dengan masa depannya, jadi pengangguran sampai mati pun tak jadi pusing kepalanya. Dia hanya butuh orang untuk menikahi dirinya, lalu berniat ikut suaminya ke rumah yang baru. Dia tak betah lagi hidup bersama emak tirinya.

Namun sial benar Nuriyah ini. Sampai sekarang tak ada satupun lelaki desa yang mau mendekatinya. Karena orang sekampung bahkan anak-anak SD sekalipun tau bahwa Nuriyah sudah tak perawan. Kegadisannya direnggut oleh Ringgo, saudara tirinya yang lima bulan lalu mati gantung diri di pohon tepi sungai desa, karena ditinggal nikah pacarnya.

Setelah saudara tiri satu-satunya itu mati, dia hanya hidup bersama emak tirinya. Wanita berkepala lima itu bertubuh besar dan pendek, rambutnya kriting tak ada sebahu. Entah apa yang menarik perhatian bapaknya untuk mempersunting wanita ini.Sedangkan bapaknya bekerja sebagai ojek di Kota dan pulang hari Rabu dan Minggu saja.

Sebelumnya, tiga atau empat tahun lalu, bapak Nuriyah adalah bos utama di usaha pabrik krupuk yang digarap bersama istri pertamanya sejak Nuriyah belum lahir. Lalu usaha itu ludes karena ulah istri kedua yang dinikahinya 2 bulan setelah ibu kandung Nuriyah meninggal.

Istri keduanya ini tak hanya ingin cepat kaya, namun juga serakah ingin mengeruk semua harta yang masih disimpan oleh bapak Nuriyah. Harta itu peninggalan mendiang ibu Nuriyah yang dititipkan untuk anak semata wayangnya, sebelum kanker yang diderita merenggut seluruh hidupnya.

Saat awal hidup bersama emaknya itu Nuriyah tak sekasar sekarang. Nur merelakan bapaknya menikah lagi dengan wanita desa ini karena tak tega melihat bapaknya sedih setiap mengingat ibunya. Selain itu Nur tak berpikir akan berefek serius terhadap kehidupannya mendatang.

Nuriyah tak pernah betah meladeni emak tirinya yang sok mewah bak bangsawan kelas atas. Nur tak suka sifat serakah yang melekat pada emak Ringgo itu. Terlebih setelah wanita itu tak malu dan menyesal dengan kelakuan Ringgo terhadap diri Nur. Dan malah menuding Nur sebagai penyebab kematian putra semata wayangnya. Jika bisa, dia ingin mengutuk wanita sialan itu.

Nur hanya akan menuruti apa kata emak tirinya jika sedang ada maunya. Dia akan melakukan perintah emaknya jika sedang butuh sesuatu di rumah. Hanya sedekar mengambil celah lalu pergi semaunya. Selain itu perhitunganpun selalu dia lakukan setiap hari terhadap emak tirinya.

Dia akan membenci wanita itu seumur hidupnya. Dia tak memperdulikan apapun tentang kehidupan emaknya sekarang.

......

( bersambung dulu ya.. ini bayar hutang kemarin. InsyaAlloh nanti malam saya post lagi kelanjutan kisah Nuriyah ini hehe ;) .

Saya dapat inspirasi dari cerpen Kecu karya Bani Setia dalam Horison Sastra Indonesia 2 : Kitab Cerita Pendek.  Selamat membaca.)



#OneDayOnePost

eL’s

Kediri, 11 Okteober 2016

2 komentar:

  1. Mengajak batin berperang dengan para antagonis

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini cerpen pertama saya mbaaak.. dan masih bingung bikin lnjutannyan hihi...

      minggu ini, saya hutang tulisan buanyak eg,.. duh!!tepok jidat.

      Hapus