Jumat, 07 Oktober 2016

TBC TULANG BELAKANG, 2 TAHUN LALU

Sekitar dua tahun yang lalu ibu menjalani perawatan atas penyakitnya. Beliau tak sebugar sekarang. Daging yang ada di tangan dan kaki Beliau mengalami penyusutan berat. Beliau sangat kurus saat itu.

Saat ibu sakit saya masih duduk di kelas dua belas Aliyah. Sedangkan adekku kelas satu Aliyah, sementara mbakku semester 7 di UNESA ( Universitas Negri Surabaya ). Kami belum ada yang lulus saat itu. Jadi tidak bisa seharian menjaga ibu jika sudah waktunya masuk sekolah.

Hanya saja saat ibu mengalami masa paling kritis dalam siklus sakitnya, kami sedang libur semester dan sedang menjalani puasa Romadhon. Setidaknya kami masih bisa meluangkan waktu dengan ibu secara fulltime, walaupun hanya dalam beberapa minggu saja. Alhamdulillah.

Ibu awalnya mengalami sesak dada, lalu semakin hari rasa sakitnya menyebar ke bagian punggungnya. Membuat Beliau hanya mampu duduk di tepi kasur jika ingin makan dan minum. Itu saja Beliau lakukan dengan susah payah.

Saya lupa tepatnya hari apa hanya bulannya yang teringat, yaitu bulan Februari 2014. Saya sampai sekarang selalu merasa rugi karena tidak sempat mencacat semua hal tentang keadaan ibu. Benar-benar menyesal. Di bulan itu Gunung Kelud meletus dan ibu mengikuti bakti sosial dengan rekan-rekan Pramukanya.

Ibu memang aktif dalam kegiatan sosial semacam itu sebelum akhirnya tak berdaya dan drop. Beliau menahan rasa sakit yang sebenarnya sudah lama dirasa. Akibat dari nekadnya itu membawa dampak serius pada kelanjutan penyakit yang sedang Beliau simpan sendiri itu.

Karena tidak mau ambl resiko, ayah membawa ibu ke Rumah Sakit Umum Daerah Pare, Kediri. Awalnya ibu divonis mengalami penyakit paru-paru biasa saja oleh dokter. Namun setelah pulang dan tidak ada perkembangan, ibu lagi-lagi dilarikan ke Rumah Sakit Swasta yang juga berada di daerah Pare, Kediri.

Di rumah sakit itu kami sekeluarga menginap selama seminggu sebelum ibu dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Di rumah sakit swasta ini kami sekeluarga mengetahui bahwa ibu mengalami TBC tulang belakang.

Setelah mengurus semua administrasi yang diperlukan, kami sekeluarga membawa ibu ke Surabaya. Namun belum sampai mbakku selesai memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan kamar inap, ibu sudah tidak tahan karena terlalu lama di dalam mobil. Selain itu perut Beliau juga semakin membuncit karena kesulitan buang air kecil dan buang air besar.

Kami pun memutuskan untuk membawa ibu ke rumah sakit lain saja. Namun ternyata ibu benar-benar sudah tidak kuat menahan sakit hari itu. Kami yang sebelumnya menenangkan ibu agar tidak tegang sampai setidaknya kami nanti sampai Kabupaten Nganjuk, tidak lagi tega melihat rintihan ibu.

Oleh karena itu kami singgah dan menginap di Rumah Sakit Derah Jombang. Ibu diperiksa seperti biasanya. Kami menunggu di luar ruangan IGD seperti biasanya pula, kecuali ayah yang menemani ibu dan sekalian membantu perawatnya mengganti pakaian ibu.
Betapa kami lelah hari itu, sangat lelah. Saya yang duduk di kursi tunggu melihat ibu didorong menggunakan ranjang dorong beberapa saat setelah dokter –yang kelihatannya adalah mahasiswa magang-- memberikan berkas ronsen kepada ayah.

Beberapa hari kemudian ibu diperbolehkan untuk pulang. Kami cukup tenang karena ibu sudah tidak lagi mengeluhkan rasa sakit di perutnya. Hanya saja punggungnya belum membaik dengan sempurna. Kami tahu dari raut wajah ibu yang selalu menyuguhkan semangatnya untuk sembuh namun dihalangi oleh entah bagaimana rasanya punggung Beliau saat itu.

Sesampainya di rumah kami merawat ibu dengan beberapa bekal pengalaman selama berada di 3 rumah sakit berbeda tempo hari. Kami mulai berani membeli alat untuk menyalurkan pipisnya ibu ke kantong, lalu memanggil bidan untuk memasangkannya. Kami mulai meminjam kursi roda kepada saudara kami, mengajak ibu menikmati sejuknya udara subuh sampai hangatnya matahari pagi.

Dari bidan yang membantu kami tadi, kami jadi mengetahui bahwa pemerintah sedang mengadakan program serentak untuk pemberian obat TBC secara gratis. Pengambilan dapat dilakukan di Puskesmas terdekat, jika syarat-syaratnya telah terpenuhi.

Ibu mengonsumi obat pemulihan dari program serentak Pemerintah tersebut selama 6 bulan penuh. Dari pemberian obat itu salah satu dari kami jadi lebih sering googling tentang apa saja kegunaan obat-obat yang diberikan. Kami membuat catatan sederhana untuk menghafalkan urutan peminuman obat untuk ibu.

Ternyata memang tidak boleh sembarangan. Setiap obat mempunyai jam-nya sendiri untuk diminumkan ke ibu. Jarak per jam-nya pun tidak terlalu lama, selang 2 jam setelah meminum obat pada pagi hari ibu baru diperbolehkan untuk sarapan dengan makanan berat.

Selama 6 bulan itu saya, mbak dan adik serta ayah seperti perawat dadakan. Mungkin akan semakin mirip jika mengenakan seragam putih seperti perawat asli. Kami semakin terbiasa membuat bubur dari nasi yang sudah dimasak, mendudukan ibu dari posisi tidur, menggendong ibu dari ranjang tidur ke kursi roda dan menemani Beliau jalan-jalan ketika pagi dan sore hari.

Pengalaman selama enam bulan itu akan selalu melekat erat di benak dan angan kami sekeluarga. Terlebih bagi saya, karena selama enam bulan itu saya juga sedang menjalani serangkaian ujian untuk kelas dua belas. Ibu tak pernah membebani anaknya ketika misalnya hanya untuk mengambilkan minum dari meja disebelah ranjang tidurnya.

Beliau sebisanya membuka gelas dan meminum airnya menggunakan sedotan yang kami sediakan. Jika sedotannya terjatuh atau karena gangguan lainnya, Beliau tidak lekas memanggil putra putrinya yang sedang menggantikan tugasnya di rumah. Beliau menahan haus untuk beberapa saat. Dan segera minum jika kami yang sesekali menengok Beliau di kamar mengetahui hal itu.

Beliau tidak pernah menambah beban kami untuk menuruti kemauannya, yang walaupun kami sendiri tidak pernah merasa terbebani dengan keadaan seperti itu. Beliau tak pernah meminta yang neko-neko, khususnya kepada saya, karena Beliau tahu saya sedang banyak ujian pelajaran di sekolah. Padahal andai ibu tahu, kami menganggap peristiwa itu sebagai ajang untuk birul walidain kepada ibu, kepada ayah.

Kami memang sesekali menangisi keadaan, namun kami segera bangkit kembali jika teringat ibu masih susah untuk duduk sendiri seperti sedia kala. Ibu masih sangat rapuh saat itu, maka kami pun tidak akan pernah menampangkan muka kusut kami di depan ibu.

Almarhum eyang selalu berpesan kala itu, agar selalu mensyukuri apapun yang terjadi. Boleh saja bersedih. Menangis, menjerit, marah pun diperbolehkan kata eyang. Namun eyang tak pernah lupa mengingatkan untuk selalu berbuat sewajarnya saja. Jika sudah selesai menangis dan marah, kembali kumpulkan kekuatan lahir dan batin untuk terus menghadapi masalah dengan tegar dan sabar. Innalloha ma’ash shobiriin.

Dari kejadian 2 tahun itu saya selalu bersyukur dengan kesehatan ibu dan kami sekeluarga sekarang. Kami sangat bersyukur karena Alloh masih memberi kesempatan kepada kami –anak-anak ibu— untuk lebih lama lagi berbakti kepada Beliau.

Terimakasih Ya Alloh. Semoga kita semua diberi kesehatan lahir batin hari ini dan seterusnya. Aamiin.



#OneDayOnePost

eL’s

Kediri, 7 Oktober 2016


2 komentar: